ETIKA BISNIS
TUGAS 2 KELOMPOK
Disusun
Oleh:
NAMA
|
NPM
|
Ova Dwi Gunawan
|
15216700
|
Mohaamad Renaldi
|
14216503
|
Vincentius Johana
|
17216549
|
Robbi Azhima P.P
|
16216638
|
Boy Ponco R
|
11216470
|
Wahyu Siswanto
|
17216593
|
KELAS:
3EA25
PROGRAM STUDI
MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS
GUNADARMA
PTA 2019/2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Etika
berasal dari dari kata Yunani ‘Ethos’ (jamak – ta etha), berarti adat
istiadat. Etika mempelajari dan menentukan apakah suatu tindakan bernilai
baik atau buruk dan tindakan apayang seharusnya dilakukan dengan benar atau
tidak benar (salah). Peranan etika adalah sebagai tolok ukur kesadaran
manusia untuk melakukan tindakan yang bertanggung jawab sedangkan manfaat etika
yaitu mengajak orang bersikap kritis, rasional dan otonom menuju suasana
tertib, damai dan sejahtera. Etika dan moralitas juga memiliki hubungan dalam
pengertiannya karena secara harfiah definis dari etika dan moralitas
adalah sama-sama berarti sistem nilai tentang bagaimana manusia harus hidup
baik sebagai manusia yang telah diinstitusionalisasikan dalam sebuah adat
kebiasaan yang kemudian terwujud dalam pola perilaku yang ajek dan terulang
dalam kurun waktu yang lama sebagaimana laiknya sebuah kebiasaan.
Etika bisnis merupakan studi
yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan salah. Studi ini berkonsentrasi
pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan, institusi, dan
perilaku bisnis (Velasquez, 2005).
Berikut perkembangan etika
bisnis menurut Bertens (2000):
1. Situasi Dahulu
Pada awal sejarah filsafat,
Plato, Aristoteles, dan filsuf-filsuf Yunani lain menyelidiki bagaimana
sebaiknya mengatur kehidupan manusia bersama dalam negara dan membahas
bagaimana kehidupan ekonomi dan kegiatan niaga harus diatur.
2. Masa Peralihan
Tahun 1960-an ditandai pemberontakan
terhadap kuasa dan otoritas di Amerika Serikat (AS), revolusi mahasiswa (di
ibukota Perancis), penolakan terhadap establishment (kemapanan). Hal ini
memberi perhatian pada dunia pendidikan khususnya manajemen, yaitu dengan
menambahkan mata kuliah baru dalam kurikulum dengan nama Business and
Society. Topik yang paling sering dibahas adalah corporate social
responsibility.
3. Etika Bisnis Lahir di AS
Tahun 1970-an sejumlah filsuf
mulai terlibat dalam memikirkan masalah-masalah etis di sekitar bisnis dan
etika bisnis dianggap sebagai suatu tanggapan tepat atas krisis moral yang
sedang meliputi dunia bisnis di AS.
4. Etika Bisnis Meluas ke Eropa
Tahun 1980-an di Eropa Barat,
etika bisnis sebagai ilmu baru mulai berkembang kira-kira 10 tahun kemudian. Terdapat
forum pertemuan antara akademisi dari universitas serta sekolah bisnis yang
disebut European Business Ethics Network (EBEN).
1.2 Dasar Teori
Menurut kamus, istilah etika
memiliki beragam makna berbeda. Salah satu maknanya adalah “prinsip tingkah
laku yang mengatur individu dan kelompok”. Makna kedua menurut kamus – lebih
penting – etika adalah “kajian moralitas”. Tapi meskipun etika berkaitan dengan
moralitas, namun tidak sama persis dengan moralitas. Etika adalah semacam
penelaahan, baik aktivitas penelaahan maupun hasil penelaahan itu sendiri,
sedangkan moralitas merupakan subjek.
1.3 Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah
untuk mengetahui dan memberikan wawasan yang utuh, komprehensip dan mendalam
tentang etika dalam berbisnis dengan berbagai prinsip dan tujuannya.
1.4 Rumusan
Masalah
1. Apa itu etika berbisnis dalam Agama,
Filosofi, Budaya dan Hukum?
2. Apa itu Leadership dalam etika
bisnis?
3. Bagaimana Strategi dan Performasi dalam etika
bisnis?
4. Bagaimana peran Karakter Indvidu dalam etika
bisnis?
5. Apa itu Budaya Organisasi dalam
etika bisnis?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Agama, Filosofi, Budaya dan Hukum
1. Agama
Agama adalah sumber dari segala
moral dalam etika apapun dengan kebenarannya yang absolut. Tiada keraguan dan
tidak boleh diragukan nilai-nilai etika yang bersumber dari agama. Agama
berkorelasi kuat dengan moral. Setiap agama mengandung ajaran moral atau etika
yang di jadikan pegangan bagi para penganutnya. Pada umumnya, kehidupan
beragama yang baik akan menghasilkan kehidupan moral yang baik pula.
Orang-orang dalam organisasi bisnis secara luas harus menganut nilai shiddiq,
tabligh, amanah dan fathanah.
2. Filsafat
Sumber utama nilai-nilai etika
yang dapat dijadikan sebagai acuan dan referensi dalam pengeJolaan dan
pengendalian perilaku pebisnis dengan aktifitas usaha bisnisnya adalah
filsafat. Ajaran-ajaran filsafat tersebut mengandung nilai-nilai kebenaran yang
bersumber dari pemikiran-pemikiran filsuf dan ahli filsafat yang terus
berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.
3. Budaya
Referensi penting lainnya yang
dapat dimanfaatkan sebagai acuan etika bisnis adalah pengalaman dan
perkembangan budaya, baik budaya dari suatu bangsa maupun budaya yang bersumber
dari berbagai negara (Cracken, 1986). Budaya yang mengalami transisi akan
melahirkan nilai, aturan-aturan dan standar-standar yang diterima oleh suatu
komunitas tertentu dan selanjutnya diwujudkan dalam perilaku seseorang, suatu
kelompok atau suatu komunitas yang lebih besar.
4. Hukum
Hukum merupakan aturan hidup
yang bersifat memaksa dan si pelanggar dapat diberi tindakan hukum yang tegas
dan nyata. Hukum moral dalam banyak hal lebih banyak mewarnai lilai-nilai
etika. Hukum moral adalah tuntunan perilaku manusia yang ditaati karena
kesadaran yang bersumber pada hati nurani dan bertujuan untuk mencapai
kebahagiaan.
Selain hukum moral yang biasanya tidak tertulis dan hanya ditulis untuk penjelasan informasi semata, etika bisnis juga mengadopsi aturan-aturan yang berlaku pada suatu daerah, negara atau kesepakatan-kesepakatan hukum internasional. Harapan-harapan etika ditentukan oleh hukum yang berlaku itu. Hukurn mengatur serta mendorong perbaikan masalah yangdipandang buruk atau baik dalam suatu komunitas. Sayangnya hingga saat ini kita masih menemukan kendala-kendala penyelenggaraan hukum etika di Indonesia.
2.2 Leadership
Satu hal penting dalam penerapan
etika bisnis di perusahaan adalah peran seorang pemimpin/leadership. Pemimpin
menjadi pemegang kunci pelaksanaan yang senantiasa dilihat oleh seluruh
karyawan. Di berbagai kondisi, saat krisis sekalipun, seorang pemimpin haruslah
memiliki kinerja emosional & etika yang tinggi. Pada prakteknya, dibutuhkan
kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual dari seorang pemimpin dalam
penerapan etika bisni sini. Kepemimpinan yang baik dalam bisnis adalah
kepemimpinan yang beretika. Etika dalam berbisnis memberikan batasan akan apa
yang yang sebaiknya dilakukan dan tidak. Pemimpin sebagai role model dalam
penerapan etika bisnis, akan mampu mendorong karyawannya untuk terus berkembang
sekaligus memotivasi agar kapabilitas karyawan teraktualisasi.
2.3 Strategi dan Performasi
Fungsi yang penting dari sebuah
manajemen adalah untuk kreatif dalam menghadapi tingginya tingkat persaingan
yang membuat perusahaannya mencapai tujuan perusahaan terutama dari sisi
keuangan tanpa harus menodai aktivitas bisnisnya berbagai kompromi etika.
Sebuah perusahaan yang jelek akan memiliki kesulitan besar untuk menyelaraskan
target yang ingin dicapai perusahaannya dengan standar-standar etika. Karena
keseluruhan strategi perusahaan yang disebut excellence harus bisa melaksanakan
seluruh kebijakan-kebijakan perusahaan guna mencapai tujuan perusahaan dengan
cara yang jujur.
2.4 Karakter Indvidu
Perjalanan hidup suatu
perusahaan tidak lain adalah karena peran banyak individu dalam menjalankan
fungsi-fungsinya dalam perusahaan tersebut. Perilaku para individu ini tentu
akan sangat mempengaruhi pada tindakan-tindakan mereka ditempat kerja atau
dalam menjalankan aktivitas bisnisnya.
Semua kualitas individu nantinya akan dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor yang diperoleh dari luar dan kemudian menjadi prinsip yang dijalani dalam kehidupannya dalam bentuk perilaku. Faktor-faktor tersebut yang pertama adalah pengaruh budaya, pengaruh budaya ini adalah pengaruh nilai-nilai yang dianut dalam keluarganya. Seorang berasal dari keluarga tentara, mungkin saja dalam keluarganya di didik dengan disiplin yang kuat, anak anaknya harus beraktivitas sesuai dengan aturan yang diterapkan orang tuanya yang kedua, perilaku ini akan dipengaruhi oleh lingkunganya yang diciptakan di tempat kerjanya. Aturan ditempat kerja akan membimbing individu untuk menjalankan peranannya ditempat kerja. Peran seseorang dalam oerganisasi juga akan menentukan perilaku dalam organisasi, seseorang yang berperangsebagai direktur perusahaan, akan merasa bahwa dia adalah pemimpin dan akan menjadi panutan bagi para karyawannya,sehingga dalam bersikap dia pun akan mencoba menjadi orang yang dapat dicontoh oleh karyawannya, misalnya dia akan selalu datang dan pulang sesuai jam kerja yang ditentukan oleh perusahaan. Faktor yang ketiga adalah berhubungan dengan lingkungan luar tempat dia hidup berupa kondisi politik dan hukum, serta pengaruh–pengaruh perubahan ekonomi. Moralitas seseorang juga ditentukan dengan aturan-aturan yang berlaku dan kondisi negara atau wilayah tempat tinggalnya saat ini. Kesemua faktor ini juga akan terkait dengan status individu tersebut yang akan melekat pada diri individu tersebut yang terwuju dari tingkah lakunya.
2.5 Budaya Organisasi
Budaya organisasi adalah suatu
kumpulan nilai-nilai, norma-norma, ritual dan pola tingkah laku yang menjadi
karakteristik suatu organisasi. Setiap budaya perusahaan akan memiliki dimensi
etika yang didorong tidak hanya oleh kebijakan-kebijakan formal perusahaan,
tapi juga karena kebiasaan-kebiasaan sehari-hari yang berkembang dalam
organisasi perusahaan tersebut, sehingga kemudian dipercayai sebagai suatu
perilaku, yang bisa ditandai mana perilaku yang pantas dan mana yang tidak
pantas.
Budaya-budaya perusahaan inilah yang membantu terbentuknya nilai dan moral ditempat kerja, juga moral yang dipakai untuk melayani para stakeholdernya. Aturan-aturan dalam perusahaan dapat dijadikan yang baik. Hal ini juga sangat terkait dengan visi dan misi perusahaan.
Banyak hal-hal lain yang bisa kita jadikan contoh bentuk budaya dalam perusahaan. Ketika masuk dalam sebuah bank, misalnya, satpam bank selalu membukakan pintu untuk pengunjung dan selalu mengucapkan salam, seperti selamat pagi ibu…selamat sore pak…sambil menundukkan badannya, dan nilai-nilai sebagiannya. Ini juga budaya perusahaan, yang dijadikan kebiasaan sehari-hari perusahaan.
2.6 Immoral Manajemen
Immoral manajemen merupakan
tingkatan terendah dari model manajemen dalam menerapkan prinsip-prinsip etika
bisnis. Manajer yang memiliki manajemen tipe ini pada umumnya sama sekali tidak
mengindahkan apa yang dimaksud dengan moralitas, baik dalam internal organisasinya
maupun bagaimana dia menjalankan aktivitas bisnisnya. Para pelaku bisnis yang
tergolong pada tipe ini, biasanya memanfaatkan kelemahan-kelemahan dan
kelengahan-kelengahan dalam komunitas untuk kepentingan dan keuntungan diri
sendiri, baik secara individu atau kelompok mereka. Kelompok manajemen ini
selalu menghindari diri dari yang disebut etika. Bahkan hukum dianggap sebagai
batu sandungan dalam menjalankanbisnisnya.
2.7 Amoral Manajemen
Tingkatan kedua dalam aplikasi
etika dan moralitas dalam manajemen adalah amoral manajemen. Berbeda dengan
immoral manajemen, manajer dengan tipe manajemen seperti ini sebenarnya bukan
tidak tahu sama sekali etika atau moralitas. Ada dua jenis lain manajemen tipe
amoral ini, yaitu Pertama, manajer yang tidak sengaja berbuat amoral
(unintentional amoral manager). Tipe ini adalah para manajer yang dianggap
kurang peka, bahwa dalam segala keputusan bisnis yang diperbuat sebenarnya
langsung atau tidak langsung akan memberikan efek pada pihak lain. Oleh karena
itu, mereka akan menjalankan bisnisnya tanpa memikirkan apakah aktivitas
bisnisnya sudah memiliki dimensi etika atau belum.
Manajer tipe ini mungkin
saja punya niat baik, namun mereka tidak bisa melihat bahwa keputusan dan
aktivitas bisnis mereka apakah merugikan pihak lain atau tidak. Tipikal manajer
seperti ini biasanya lebih berorientasi hanya pada hukum yang berlaku, dan
menjadikan hukum sebagai pedoman dalam beraktivitas. Kedua, tipe manajer yang
sengaja berbuat amoral. Manajemen dengan pola ini sebenarnya memahami ada
aturan dan etika yang harus dijalankan, namun terkadang secara sengaja
melanggar etika tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangan bisnis mereka,
misalnya ingin melakukan efisiensi dan lain-lain. Namun manajer tipe ini
terkadang berpandangan bahwa etika hanya berlaku bagi kehidupan pribadi kita,
tidak untuk bisnis. Mereka percaya bahwa aktivitas bisnis berada di luar dari
pertimbangan-pertimbangan etika dan moralitas. Widyahartono (1996:74)
mengatakan prinsip bisnis amoral itu menyatakan “bisnis adalah bisnis dan etika
adalah etika, keduanya jangan dicampur-adukkan”. Dasar pemikirannya sebagai
berikut :
§ Bisnis adalah suatu
bentuk persaingan yang mengutamakan dan mendahulukan kepentingan ego-pribadi.
Bisnis diperlakukan seperti permainan (game) yang aturannya sangat berbeda dari
aturan yang ada dalam kehidupan sosial pada umumnya.
§ Orang yang mematuhi
aturan moral dan ketanggapan sosial (sosial responsiveness) akan berada dalam
posisi yang tidak menguntungkan di tengah persaingan ketat yang tak mengenal
“values” yang menghasilkan segala cara.
§ Kalau suatu praktek
bisnis dibenarkan secara legal (karena sesuai dengan aturan hukum yang berlaku
dan karena law enforcement-nya lemah), maka para penganut bisnis amoral itu
justru menyatakan bahwa praktek bisnis itu secara “moral mereka” (kriteria atau
ukuran mereka) dapat dibenarkan. Pembenaran diri itu merupakan sesuatu yang
”wajar’ menurut mereka. Bisnis amoral dalam dirinya meskipun ditutup-tutupi
tidak mau menjadi “agen moral” karena mereka menganggap hal ini membuang-buang
waktu, dan mematikan usaha mencapai laba.
2.8 Moral Manajemen
Tingkatan tertinggi dari
penerapan nilai-nilai etika atau moralitas dalam bisnis adalah moral manajemen.
Dalam moral manajemen, nilai-nilai etika dan moralitas diletakkan pada level
standar tertinggi dari segala bentuk prilaku dan aktivitas bisnisnya. Manajer
yang termasuk dalam tipe ini hanya menerima dan mematuhi aturan-aturan yang
berlaku namun juga terbiasa meletakkan prinsip-prinsip etika dalam
kepemimpinannya.
Seorang manajer yang termasuk dalam tipe ini menginginkan
keuntungan dalam bisnisnya, tapi hanya jika bisnis yang dijalankannya secara
legal dan juga tidak melanggar etika yang ada dalam komunitas, seperti
keadilan, kejujuran, dan semangat untuk mematuhi hukum yang berlaku. Hukum bagi
mereka dilihat sebagai minimum etika yang harus mereka patuhi, sehingga
aktifitas dan tujuan bisnisnya akan diarahkan untuk melebihi dari apa yang
disebut sebagai tuntutan hukum. Manajer yang bermoral selalu melihat dan
menggunakan prinsip-prinsip etika seperti, keadilan, kebenaran, dan
aturan-aturan emas (golden rule) sebagai pedoman dalam segala keputusan bisnis
yang diambilnya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sumber ilmu dari etika bisnis
itu sendiri. Dimulai dari model, sumber dan faktor yang mempengaruhi etika
bisnis itu sendiri. Dasar ilmu pengetahuan mengenai etika bisnis tidak datang
begitu saja, akan tetapi telah dikaji sebelumnya oleh para ahli dan kemudian
dirumuskan dasar dari ilmu itu sendiri. Dalam model etika bisnis akan
dipelajari tingkatan tingkatan dari suatu manajemen atau para manajer. Untuk
mengetahui ciri – ciri dari tingkatan manajemen tersebut dimulai dari immoral,
amoral dan moral manajemen. Dari ketiga tingkatan itu dapat dijelaskan
tingkatan mana yang memiliki sikap etis terhadap bisnis yang dilakukan.
3.2 Saran
Setiap daerah mempunyai etika
bisnis yang berbeda, seorang bisnismen professional harus bisa menyeimbangkan
atau menyesuaian semua etika bisnis.
DAFTAR PUSTAKA
Belum ada tanggapan untuk "Model Etika Dalam Bisnis"
Post a Comment